Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Agama Demak | Media Informasi dan Transparansi Peradilan # Anda Memasuki ZONA INTEGRITAS Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih - Melayani (WBBM) # JANGAN RUSAK INTEGRITAS KAMI DENGAN MEMBERI IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PEGAWAI PENGADILAN AGAMA DEMAK | Pengadilan Agama Demak "SIAP" (Semangat, Integritas, Akuntabel, Profesional)

KEPENTINGAN TERBAIK ANAK DALAM PERMOHONAN DISPENSASI PERNIKAHAN: SEBUAH PENAFSIRAN HUKUM OLEH HAKIM

Jurnal Oleh :
Aliya Karima
Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kudus

 

 

 

PENDAHULUAN
Sidang dalam permohonan dispensasi nikah merupakan salah satu sidang yang cukup beresiko. Sebab dalam persidangan ini seorang hakim dituntut untuk dapat mempertimbangkan kemaslahatan hukum atau putusan yang akan diberikan dengan jaminan masa depan anak. Pengadilan Agama Kudus salah satu Pengadilan Agama yang banyak memutus perkara dispensasi nikah. Berdasarkan laporan tahunan Pengadilan Agama Kudus berikut hasil data kasus dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kudus 5 tahun terakhir.

 

 

Selengkapnya klik di sini

MENJAGA PROFESIONALITAS HAKIM MELALUI PRINSIP DASAR KEPPH

MENJAGA PROFESIONALITAS HAKIM MELALUI PRINSIP DASAR KEPPH

Oleh: Rendra Widyakso, S.H., S.H., M.H.
Hakim Pengadilan Agama Demak

Hukum acara disebut juga sebagai hukum prosedur atau peraturan keadilan. Serangkaian aturan yang mengikat dan mengatur tata cara dijalankannya suatu persidangan. Hukum acara dibuat untuk menjamin adanya sebuah proses hukum yang semestinya berdasarkan ketentuan perundang-undang dalam menegakan suatu hukum. Hukum acara berlaku untuk persidangan pidana, perdata, tata usaha negara, maupun militer. Hukum acara perdata sendiri menurut Wirjono Projodikoro disebut sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Pelaksana hukum formiil maupun materiil dalam persidangan adalah Hakim. Hakim sebagai central figure dalam proses penegakan hukum dan keadilan. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan dasar hukum lainnya. Disamping itu, Hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai etis yang mendasar pada kode etik dan pedoman prilaku Hakim. Hakim juga harus menjaga integritas dan independensinya dalam menyelesaikan perkaranya. Penegakan hukum dan keadilan, Hakim harus memiliki sifat mandiri, terbebas dari segala interfensi dan/atau pengaruh dari lingkungan lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan.

Lebih Lengkap Klik Disini

Sumber Berita website Dirjenbadilag

MENCAPAI PUTUSAN HAKIM YANG BERKEADILAN

MENCAPAI PUTUSAN HAKIM YANG BERKEADILAN

Oleh: Rendra Widyakso, S.H., S.H., M.H.

Hakim Pengadilan Agama Demak

 

            Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara atau dalam system hukum tertentu. Merupakan satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Mendasar pada Pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

            Mewujudkan suatu keadilan bagi para pencari keadilan tentu sebagai tujuan utama dibentuknya Mahkamah Agung. Tujuan tersebut tertuang dalam Visinya “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung. Guna mencapai visi tersebut, Mahkamah Agung membentuk empat misinya yakni:

  1. Menjaga kemandirian badan peradilan
  2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan
  3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan
  4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan

Keempat lembaga peradilan di bawahnya terus berusaha untuk saling mensinergikan misi tersebut sehingga yang menjadi visi daripada Mahkamah Agung dapat tercapai.

            Produk pengadilan yang berupa putusan maupun penetapan merupakan hasil yang mudah untuk dinilai oleh masyarakat. Apakah putusan tersebut telah memenuhi tujuan dari kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan? Maka perlu adanya kematangan terhadap produk pengadilan yang didasari oleh teori dan fakta yang didapat dalam persidangan.

            Putusan Hakim tentu harus berkualitas dan mencerminkan profesionalisme lembaga peradilan. Hal tersebut akan mudah diukur ketika putusan telah memenuhi tiga tujuan hukum yakni:

  1. Keadilan

Tujuan hukum dalam rangka mencapai suatu keadilan adalah unsur filosofis. Setiap para pencari keadilan tentu mengharapkan keadilan dari setiap sengketa yang diselesaikan melalui persidangan. Tentu bukan hanya sekedar aspek formalisitik, namun harus mengedepankan aspek kemanusiaan yang lebih luas dan komprehensif.

Mencapai putusan yang berkeadilan tidak hanya bersandar pada pertimbangan semata (ratio decidendi) namun juga mendasar pada emanasi (ajaran yang terpancar dan berasal dari Tuhan). Artinya bahwa adanya petunjuk Allah SWT. Sehingga tujuan mencapai keadilan merupakan fungsi implementatif terhadap keadilan Tuhan. Sedangkan dalam suatu norma bersifat korektif dan tidak melanggar ketentuan dari apa yang sudah digariskan;

  1. Kepastian Hukum

Kepastian hukum lebih dikenal sebagai aspek normative. Aliran positivistic  cenderung mengedepankan peraturan dan kepastian hukum. Hukum dimaknai sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi, jika ada yang melanggarnya akan berakibat diambilnya tindakan berdasarkan hukum tertentu.

Sehingga dalam menerapkan suatu norma dalam putusan dianggap sangatlah penting dan tentu menggunakan cara yang baik dalam penerapannya.

  1. Kemanfaatan

Bagaimana suatu putusan hakim dapat berguna bagi masyarakat khususnya para pencari keadilan. Unsur sosiologis menjadi dasar terhadap tujuan dari kemanfaatan hukum. Sehingga hukum akan dinilai baik jika akibat adannya hukum tersebut setelah diterapkan akan memperoleh hasil kebaikan dan kebahagiaan.

Putusan hakim juga harus ideal dalam memenuhi syarat teoritis dan syarat praktis. Maksudnya bahwa dalam secara teori dapat diuji dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya. Sedangkan secara praktis tentu hakim harus bersandar pada hukum acara tertentu sehingga sesuai dengan kebutuhan praktis di persidangan.

Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah dengan Majelis Hakim sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peran sentral dalam membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya. Tentu dalam penerapan hukum dalam putusan mengacu pada kerangka fikir yang terbangun secara sistematik. Dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan, alasan, dan dasar putusan. Oleh karenanya guna mencapai putusan yang baik dan benar ada 3 tahapan yang harus dilakukan oleh Hakim, yakni:

  1. Konstatir

Mengkonstatir artinya melihat, mengakui, atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah terjadi tersebut. Hakim dalam hal ini harus mampu untuk mengkonstatir suatu peristiwa hukum yang diajukan para pihak dengan cara melihat, mengakui, dan membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan tersebut.

Hakim harus mampu untuk memastikan terjadinya suatu peristiwa dan bukan dianggap sebagai dugaan. Hakim akan mendasar pada alat bukti dalam acara pembuktian. Adapun tahapan yang harus hakim cermati dalam pembuktian adalah, kapan dimulai meletakkan beban bukti yang tepat. Kepada siapa beban bukti ditimpahkan. Mampu menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak dengan memperhatikan aspek formiil dan materiilnya. Sehingga dapat memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Setelah itu, barulah Hakim menentukan apakah peristiwa tersebut dapat dinyatakan terbukti atau tidak,

  1. Kualifisir

Mengkualifisir artinya menilai suatu peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi. Bahwa Hakim dapat menemukan hukumnya bagi suatu peristiwa yang telah dikonstatir. Hakim menilai terhadap peristiwa/dalil yang telah terbukti atau yang tidak terbukti dengan peraturan perundang-undangan yang merupakan hukum materiil.

  1. Konstituir

Mengkonstituir artinya Hakim menetapkan hukumnya atau memberikan suatu keadilan kepada para pihak yang berperkara.

            Selain daripada itu dalam rangka meningkatkan kualitas putusan, Hakim harus mampu menguasai asas-asas hukum. Asas diartikan sebagai alas, sebuah kebenaran yang menjadi tumpuhan atau pokok berfikir, berpendapat dan sebagainya. Pada prinsipnya asas hukum merupakan prinsip dasar atau aturan dasar dalam pemberlakuan hukum. Jika dalam system hukum terdapat pertentangan, maka asas hukum akan tampil sebagai solusi dalam mengatasi pertentangan tersebut. Oleh karenanya seringkali asas hukum disebut sebagai jantung dari peraturan hukum. Menurut G.W. Paton bahwa asas merupakan suatu pikiran yang dirumuskan secara luas yang menjadi dasar bagi kaidah hukum. Asas bersifat lebih abstrak, kaidah hukum sifatnya lebih konkret mengenai perilaku atau tindakan hukum tertentu.

            Memahami asas hukum, terdapat dua jenis asas hukum, yakni asas hukum umum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum. Seperti asas restitution in tergum (pemulihan terhadap keadaan semula), asas lex posteriori derogate legi priori (peraturan yang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama). Intinya bahwa apa yang lahirnya telah tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian hingga diputus oleh pengadilan. Dan asas hukum khusus, artinya bahwa asas hukum yang berfungsi dalam bidang hukum yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana. Asas hukum khusus ini biasanya menjadi penjabaran dari asas hukum umum. Contohnya seperti asas Pacta Sunt Servanda (perjanjian yang telah dibuat berlaku mengikat bagi masing-masing pihak), asas Konsesualisme, dan lainnya.

            Hakim juga harus mampu menyusun legal reasoning. Legal reasoning atau yang sering disebut penalaran hukum merupakan penelusuran alasan tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang Hakim memutus perkara. Kenneth J. Vandeveld menyebutkan dalam melakukan penalaran hukum terdapat 5 langkah, yakni:

  1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sourcer of law). Argumentasi hukum bukan merupakan bagian dari logika hukum, tetapi merupakan bagian dari teori hukum.
  2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyse the sourcer of law);
  3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut dalam suatu struktur yang koheren, maksudnya adalah mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum. (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure).
  4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available fact)
  5. Menerapkan struktur aturan kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta tersebut. Dalam hal ini menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).

Tentunya dalam menyusun legal reasoning butuh kefasihan Bahasa dan teknik dalam penulisan sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia dan Bahasa hukum.

            Setelah memahami penerapan asas-asas hukum, dalam menyusun argumentasi hukum harus bersandar pada sumber hukum yang berlaku. Sumber hukum meliputi undang-undang, adat/kebiasaan, doktrin, traktat/perjanjian, dan yurisprudensi. Sehingga sumber hukum akan menjadi alat atau lentera dan menjadi pengendali Hakim dalam penerapan suatu hukum. Sedangkan dalam konsep hukum islam Hakim harus mengacu dan menerapkan kaidah-kaidah hukum islam yang tertuang dalam Maqhasid al-Syari’ah.

            Kemudian dalam penerapan kaidah hukum berdasar pada peraturan yang berlaku, sehingga dapat digunakan sebagai solusi dalam menyelesaikan suatu sengketa yang praktis baik individu maupun kolektif dengan cara yang arif dan bijaksana.

Oleh karenanya, bahwa hakim sebelum mengambil keputusan harus memperhatikan 7 (tujuh) hal penting:

  1. Identifikasi gugatan dalam perkara tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
  2. Memeriksa kedudukan para pihak Legal standing (keadaan dimana seorang pihak ditentukan telah memenuhi syarat dan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan ke muka pengadilan).
  3. Identifikasi pokok gugatan baik posita dan petitumnya.
  4. Identifikasi jawaban atas gugatan Penggugat.
  5. Beban pembuktian
  6. Hasil pembuktian
  7. Kesimpulan dari masing-masing para pihak berperkara

Jika kesemuanya telah dilaksanakan maka sangat lah mungkin putusan hakim akan mencapai putusan yang ideal. Tentunya Hakim tidak boleh terlepas dari ketiga tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

 

 

JADIKAN LELAH KERJAMU MENJADI IBADAH

JADIKAN LELAH KERJAMU MENJADI IBADAH

Oleh: Rendra Widyakso, S.H., S.H., M.H.

Hakim Pengadilan Agama Demak

 

            Bekerja merupakan salah satu kewajiban dari setiap manusia untuk mencukupi kebutuhan dalam menyambung kehidupan. Agama Islam mewajibkan setiap umatnya untuk bekerja. Mencari rezeki yang halal dan baik merupakan suatu amalan saleh. Namun, banyak dari setiap manusia lupa bahwa dalam sisi kehidupan segala aspeknya telah diatur oleh Sang Pencipta. Bekerja berangkat di saat fajar terbit hingga terbenamnya matahari.

            Dalam Islam, rezeki memang menjadi urusan Allah SWT. Tentu sebagai hamba-Nya diwajibkan untuk berusaha sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang halal. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S Al-Mu’minun ayat 51, artinya: "Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." 

            Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain bahkan bersandar kepada orang lain. Islam tidak pernah membatasi dalam memilih pekerjaan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Kebebasan dalam menentukan suatu pekerjaan tentu berdasarkan pada keahlian dan kemampuan setiap orang. Namun Islam membatasi kebebasan tersebut dengan meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut:

Pertama, pekerjaan harus halal dan baik.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)

Setiap ummat Islam diperintahkan untuk memakan makanan yang halal dan yang baik. Selain daripada itu setiap ummat muslim hanya memberi dari hasil usaha yang halal. Maksudnya agar mendapatkan kemaslahatan dan keridhoan Allah SWT, sehingga tidak menimbulkan kemudhoratan.

Kedua, ikhlas dalam bekerja,yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya.

Banyaknya setiap orang mengawali kegiatannya lupa untuk meniatkan dirinya kepada Allah SWT dengan tujuan mendapatkan ridho Allah SWT. Dalam suatu riwayat hadist

 

 

Artinya:

Dari Umar Radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai kemana ia hijrah” (H.R. Bukhari, Muslim , dan empat Imam Ahli Hadist)

Intinya bahwa niat merupakan unsur utama dan terpenting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan dinilai sebagai bentuk ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam setiap memulai pekerjaan. Oleh karenanya agar lelah dan setiap tetesan keringat bernilai amal ibadah di mata Allah SWT, maka awali setiap pekerjaan dengan niat karena Allah SWT. Sehingga tidak kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.

Ketiga, bekerja dengan penuh tanggungjawab dan menjunjung tinggi nilai profesionalitas.

Bekerja tentu tidak hanya sekedar bekerja. Islam sendiri memerintahkan kepada ummatnya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab, dan professional. Sebagaimana sabda Nabi:

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara ka-lian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi)

Beliau juga bersabda:

 قَالَ :إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ،

“Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)

Bekerja secara sungguh-sungguh yang artinya tidak menunda-nunda pekerjaan. Melakukan pekerjaan dengan penuh capaian sasaran kerja. Dan bekerja secara profesional yang artinya bekerja dengan segala kemampuan dan penuh menguasai pekerjaan sehingga mampu bertanggungjawab atas pekerjaannya. Islam juga mengajarkan ummatnya untuk bekerja secara teliti, sehingga lebih berhati-hati dalam setiap pekerjaannya.

Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah.

Bekerja dengan niat tulus karena ibadah kepada Allah SWT, tentu tidak diperkenankan melalaikan dan melupakan kewajiban kepada Allah. Sesibuk apapun dalam suatu pekerjaan tidak boleh membuat lalai terhadap kewajiban ummat terhadap Tuhannya. Dalam keseharian yang menjadi kewajiban pokok ummat Islam adalah menjalankan sholat lima waktu. Kewajiban tersebut tentu jauh lebih utama dari segala pekerjaan kita.

Perlu disadari bahwa tanpa Tuhan belum tentu setiap manusia dapat mengerjakan seluruh pekerjaan dengan baik. Kesehatan dan kesempatan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan ketika Allah SWT berkehendak. Maka oleh karenanya sebagai ummat yang taat beribadah kepada-Nya, harus mampu untuk meninggalkan sejenak pekerjaan guna beribadah kepada Allah SWT.

Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukupi diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya.

 

MENAKAR KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM DALAM DISPENSASI PERKAWINAN

MENAKAR KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM DALAM DISPENSASI PERKAWINAN

Oleh : Ardiansyah Iksaniyah Putra, S.H., M.H

(CPNS ANALIS PERKARA PERADILAN / CALON HAKIM) (PA MAUMERE / MAHKAMAH AGUNG RI)

Perkawinan merupakan hak bagi setiap warga negara, didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai dasar hukum tertinggi hak perkawinan dipertegas dalam pasal 28B ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.1 Beranjak dari pasal tersebut diatas sederhananya setiap orang diberikan hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturuan hanya atas dasar perkawinan yang sah. Disini yang perlu digaris bawahi adalah perkawinan yang sah, lalu kemudian timbul sebuah pertanyaan apa yang dimaksud dengan perkawinan yang sah itu ?

Berbagai macam syarat dan prosedur harus dilalui calon mempelai untuk memperoleh status perkawinan yang sah, sayangnya di Indonesia sendiri masih terdapat perbedaan tolok ukur tentang sahnya perkawinan, diantaranya sah menurut agama yang belum tentu juga sah menurut negara (Misalnya nikah sirih), hal tersebut didasarkan dari berbagai macam sumber hukum yang ada, baik bersumber dari hukum agama, hukum negara sampai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat yang mana dari masing-masing sumber hukum tersebut mempunyai syarat dan prosedur yang berbeda-beda. Namun yang dimaksud perkawinan yang sah dalam tulisan ini ialah perkawinan yang sah menurut agama dan sah menurut negara,. .

Selengkapnya KLIK DISINI

 


Hubungi Kami

Home  Pengadilan Agama Demak Kelas I-B

location icon 1  Jl. Sultan Trenggono No. 23 

location icon  Kab. Demak- Jawa Tengah 59516

phone icon  Telp: (0291) 6904046

Fax icon  Fax: (0291) 685014

Communication email blue icon  Email : pademak01@gmail.com

Tautan Media Sosial